Biografi Abu Yazid al-Busthami
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf,
pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral
keagamaan ini banyak di singgung dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Dengan demikian,
sumber pertama tasawuf adalah ajaran-ajaran islam, sebab tasawuf ditimba dari
Al-qur’an, AS-sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta
ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-qur’an dan
As-sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tasawuf adalah Al-qur’an dan
As-sunnah itu sendiri.
B.
Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
menyelesaikan tanggung jawab sebagai maha siswa dalam tugas tersetruktur.
2.
Sebagai
bahan diskusi tentang ilmu tasawuf.
3.
Untuk
menambah wawasan keilmuan dalam kajian tasawuf serta melatih pola pikir dan
kemampuan mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
ABU YAZID AL-BUSTAMI, SEJARAH DAN AJARAN-AJARANNYA.
A.
Biografi Singkat.
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur
bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan
wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan,
seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk agama Islam
di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, akan tetapi ia
lebih memilih hidup sederhana.[1]
Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid mempunyai kelainan. Menurut ibunya,
bayi yang ada dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu
memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid
juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikut
iperintah agama dan berbakti kepada
orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman, yang Artinya: “Berterimakasihlah
kepada Aku dan kedua orang tuamu.”Ayat
ini sangat mengetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan menuju
rumah untuk menemui ibunya. Ini satu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap
panggilan Allah.
Perjalanan Abu
Yazid untuk menjadi seorang sufi
membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang
sufi, dia terlebih dahulu menjadi
seorang yang faqih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah
Abu Ali As-sindi. Ia mengajarkan kepada Abu Yazid tentang ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya. Hanya saja,
ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku.[2]
B. Ajaran yang dibawa Abu Yazid
Al-Bustami.
1. Fana’.
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah, Fana’ yang berasal dari kata faniyah
yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya
diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Abu Bakar Al-Kalabadzi
mendefenisikan fana sebagai, hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang,
tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala
perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah
menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’
terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid
yaitu dengan cara meninggalkan diri (nafsu), Abu Yazid sendiri pernah
melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada
tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui
dirinya, maka aku pun hidup.”[3]
2. Baqa’.
Adapun baqa’
berasal dari kata baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap,
sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpujikepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’.
Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’,
ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.
Ketika
menerangkan kaitan antara fana’ dan baqa’, Al-Qusyairi
menyatakan, “Barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, ia sedang
fana’ syahwatnya. Tatkala fana’ dari syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan
keikhlasan ibadah. Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, ia sedang
fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan inabahnya.”[4]
3.
Ittihad.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah
melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja pembahasan tentang Ittihad
ini tidak ditemukan. Apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran
ini sangat sulit untuk diperaktikkan dan masih perlu pembahasan, dan merupakan
pertanyaan yang perlu untuk di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun
Nasution, dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan.
Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, sehingga salah satu dari
mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata.
Dengan ajaran
fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan.
Bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan dan dapat dilihat dari syahadat
yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan
seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad. Ucapan-ucapan
yang demikian belum pernah didengar dari sufi sebelum Abu Yazid Al-Bustami.[5]
wallahu A’lam Bis Shawab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau di dengar secara sepintas
akan memberikan kesan bahwa ia sudah syirik kepada Allah. Oleh karena itu,
dalam sejarah, di antara para sufi, ada yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan
ada yang sampai di bunuh disebabkan oleh ucapannya yang membingungkan orang awam.
B. Saran.
Maka
untuk mengetahui jauh lebih dalam tentang pembahasan ini kami sarankan kepada
pembaca agar kembali merujuk pada referensi-referensi yang ada, baik yang kami
pakai maupun referensi kompeten yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Dr. M. Ag. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka
Setia. 2009.
Anwar, Rosihon. Dr. M. Ag. Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka
Setia. 2008.
Siregar, Rivay. Prof. H. Sufisme
Klasik, Jakarta: Pustaka Nasional. 2002.
Komentar
Posting Komentar